Sepertinya Perang Diponegoro sudah tidak asing bagi Anda. Sebab, Perang Diponegoro menjadi salah satu sejarah penting yang perlu kita ketahui dan wajib untuk diapresiasi. Perang ini dikenal dengan sebutan Perang Jawa karena memang terjadi di tanah Jawa. Alasan mengapa perang ini dinamakan Perang Diponegoro yaitu tak lain dipimpin Pangeran Diponegoro.
Sejarah ini telah tercatat bahwa Perang Diponegoro menjadi suatu Perang terbesar yang sempat dihadapi para tentara Belanda pada masa pendudukannya di negara kita. Bahkan perang ini disebut sebagai perubahan besar pada abad 18 hingga pada abad 19. Tak hanya itu, perang ini telah menggugurkan lebih dari ratusan ribu rakyat Jawa serta puluhan ribu tentara belanda.
Lalu, bagaimana sejarah dari Perang Diponegoro? Penasaran kan? Baiklah mari kita simak penyebab beserta kronologinya, melalui ulasan berikut ini
Table of Contents
TogglePenyebab Perang Diponegoro
Alasan yang mendasari perang ini yaitu sikap dan perilaku Pangeran Diponegoro lah yang tidak pernah setuju Belanda mencampuri urusan kerajaan. Sebab, kerajaan seolah-olah tidak memiliki kuasa dalam bekerja sama dibidang politik terhadap pemerintahan kolonial. Disisi lain, bagi mereka para kalangan keraton, hidup mereka selalu bermewah-mewahan serta tidak memperhatikan penderitaan rakyat.
Selain itu, nasib para petani lokal juga demikian, mereka menderita akibat adanya tipu daya atau penyalahgunaan penyewaan tanah yang dilakukan oleh Belanda. Dari beberapa hal tersebut, menjadikan seorang Pangeran Diponegoro geram pada Belanda. Ditambah pada saat Patih Danurejo dibawah pemerintahan Belanda membangun tonggak-tonggak dan rel kereta api untuk mempermudah akses ke wilayah pemakaman leluhurnya.
Inilah penyebab Pangeran Diponegoro menyatakan perang dan akan melakukan perlawanan.
Kronologi dalam Perang Diponegoro
Perang ini telah berlangsung sekitar lima tahun yakni tahun 1825 sampai 1830. Awal mula peristiwa ini terjadi yaitu ketika pihak istana memerintahkan dua bupati keraton senior yang meliputi pemimpin Jawa dan Belanda untuk melakukan penangkapan Pangeran Diponegoro beserta Mangkubumi yang bertempat di Tegalrejo.
Dalam penangkapan itu, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya telah berhasil meloloskan diri, namun rumah tinggal mereka telah habis terbakar. Mereka bergerak ke barat yang tepatnya di Gua Selarong, Pajangan, Bantul yang mana telah dijadikan sebagai markas utama mereka.
Diketahui, Perang ini telah melibatkan beberapa kalangan yaitu petani, priyayi dan masih banyak lagi dimana mereka telah menyumbangkan sejumlah uang beserta beberapa barang berharga mereka untuk dana perang. Disisi lain, orang-orang dari pribumi juga terlibat dan mempunyai semangat untuk membantu melakukan perlawanan.
Dalam perlawanan tersebut, Pangeran Diponegoro tidak berjuang sendiri, melainkan Kyai Mojo selaku pemimpin spiritual pun ikut membantu. Ditambah Pangeran Diponegoro juga melakukan kerja sama dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI dan juga salah satu rekannya yaitu Raden Tumenggung Prawirodigdoyo.
Hal itu menjadikan Belanda merasa kesulitan untuk melakukan perlawanan, yang mana para pejuang Jawa telah berhasil mengambil alih keraton Yogyakarta. Selain itu, beberapa wilayah lainnya juga telah diambil alih oleh mereka dengan strategi perang atrisi dan perang gerilya.
Disuatu ketika yaitu tahun 1827, Belanda telah menggerakan sekitar 23.000 tentara untuk menghentikan perlawanan dari Indonesia. Bagi Belanda, perang ini merupakan suatu perang terbuka yang mana Belanda telah menggerakan beberapa jenis pasukan yaitu pasukan infanteri, artileri dan kavaleri.
Selain itu, Belanda menerapkan strategi benteng dengan tujuan pasukan Diponegoro terapit. Namun, usaha tersebut tidak membuat Pangeran Diponegoro tertangkap, melainkan hanya pejuang-pejuang Indonesia yang gugur. Dari berbagai kejadian yang dialami para pejuang, akhirnya Pangeran Mangkubumi dan juga Alibasah Sentot Prawirodirjo pun menyerahkan diri mereka supaya meminimalisir penindasan terhadap rakyatnya.
Pada 21 September 1829, Belanda semakin berpikir keras untuk menangkap Pangeran Diponegoro, karena dia lah pemimpin tunggalnya. Bahkan Belanda membuat sayembara, siapa yang bisa menangkap Pangeran Diponegoro maka akan memperoleh hadiah sejumlah 50.000 Gulden dan tanah.
Ketika itulah kedudukan Indonesia mulai melemah yang mana dua pemimpin besar juga telah menyerahkan diri. Tepat pada 20 Februari 1830, Pangeran Diponegoro memutuskan untuk bertemu dengan seorang Jendral Belanda yaitu De Kock. Dari pertemuan tersebut, Pangeran Diponegoro tetap berpegang teguh yaitu mempertahankan wilayah Jawa.
Dari beberapa pertemuan yang dilaluinya. Belanda tidak memperoleh hasil. Hal ini menjadikan Belanda mempunyai strategi untuk menahan pasukan Diponegoro dengan tujuan Pangeran Diponegoro dapat menyerahkan dirinya ke Belanda.
Hingga pada akhirnya, Pangeran Diponegoro pun menyerahkan dirinya dengan syarat, pasukan yang mereka tahan dapat mereka bebaskan. Inilah akhir dari perlawanan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Setelah penyerahan diri, Pangeran Diponegoro dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang terlebih dahulu sebelum ia dipindahkan ke Batavia pada 5 April 1830.
Demikianlah ulasan yang membahas terkait sejarah dari Perang Diponegoro. Dapat disimpulkan bahwa peristiwa dari perlawanan tersebut memberikan dampak yang buruk yaitu telah menelan beribu-ribu korban jiwa. Disisi lain, wilayah Jawa pun telah dikuasai kembali. Namun, usaha Pangeran Diponegoro patut diapresiasi atas perjuangannya untuk membela tanah air meskipun belum berhasil mengusir penjajah.